Azab Pengusaha Rental Serakah, Pentingin cuan daripada nyawa penumpang


Angin dingin menerpa wajah Yahya saat ia berdiri di depan garasi bis yang lusuh. Jari-jarinya mengelus setir bis tua yang terlihat letih setelah bertahun-tahun melayani perjalanan panjang. Pikirannya melayang jauh, berusaha mencari jawaban. Gaji yang tak pernah naik, jam kerja yang terus bertambah, dan tekanan dari bosnya, Pak Tejo, yang seakan tak pernah ada habisnya. Yahya tahu, bis ini sudah tidak layak jalan. Oli yang terus bocor, kampas rem yang aus, semuanya menjerit minta diperbaiki. Namun, setiap kali ia mengutarakan keluhan ini kepada Pak Tejo, jawabannya selalu sama.

“Masih bisa jalan, kan?” Suara Pak Tejo terngiang di telinganya. Yahya menghela napas panjang. “Kalau masih bisa jalan, ya berarti masih aman-aman saja.”

Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Yahya menghabiskan waktunya memeriksa bis dengan peralatan seadanya. Tidak ada yang berubah. Oli tetap bocor. Rem tetap bermasalah. Namun, perintah bosnya sudah jelas: besok bis itu harus berangkat untuk mengantar rombongan anak-anak sekolah yang hendak pergi rekreasi. Yahya menundukkan kepala, hatinya penuh keraguan. Tapi apa pilihan lain yang ia punya? Sudah dua bulan ia tidak menerima gaji, dan Pak Tejo dengan jelas mengancam, “Kalau kamu nggak nurut, gajimu nggak akan cair.”

Keesokan paginya, matahari bersinar cerah, seolah tidak mengetahui beban berat yang Yahya bawa di pundaknya. Anak-anak kecil bersorak riang, berlarian menuju bis yang sudah diparkir di depan sekolah. Wajah-wajah polos mereka penuh antusiasme akan petualangan yang menanti. Yahya memaksakan senyum, walaupun hatinya penuh kekhawatiran. Ia menatap ibu guru yang sibuk memastikan semua anak masuk ke dalam bis dengan selamat. “Ini perjalanan ke daerah perbukitan, ya, Bu?” tanyanya dengan nada hati-hati.

“Iya, Pak Yahya. Kenapa?” jawab sang guru, tidak menyadari ketegangan di wajah Yahya.

“Ah, nggak apa-apa, Bu. Nanti saya pelan-pelan aja nyetirnya. Biar aman,” katanya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada sang guru.

Mesin bis meraung pelan saat Yahya menyalakannya. Anak-anak di belakang sudah mulai bernyanyi, tertawa, dan bercanda. Yahya berusaha fokus. “Bismillah,” gumamnya dalam hati. Ia tahu betapa berbahayanya membawa bis ini di medan perbukitan dengan kondisi seperti ini. Namun, ia tak punya pilihan lain.


Di sisi lain, di kantor Pak Tejo:

Pak Tejo menutup teleponnya dengan senyum puas. “Aman,” pikirnya. Ia baru saja meyakinkan Yahya bahwa semua akan baik-baik saja, walau bis tersebut sudah jelas-jelas tidak layak jalan. “Yang penting bisnis jalan terus,” gumamnya sambil menyeruput kopi pagi. Tidak ada keraguan sedikitpun di wajahnya. Baginya, Yahya hanyalah seorang pegawai biasa yang bisa dipecat kapan saja, dan keselamatan anak-anak di dalam bis itu bukanlah prioritasnya.

“Banyak orang yang lebih penting dari mereka,” pikirnya sinis. Lagipula, siapa yang akan menyalahkan dia jika terjadi sesuatu? Selalu ada kambing hitam, dan Yahya adalah yang paling mudah disalahkan.


Perjalanan fatal dimulai:

Di tengah perjalanan, ketika bis melintasi jalanan menanjak yang berkelok-kelok, Yahya mulai merasakan sesuatu yang tidak beres. Pedal rem terasa lebih keras dari biasanya, dan bis melaju sedikit lebih cepat saat menuruni bukit. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. “Ya Allah, jangan sekarang…,” doanya dalam hati, sambil mencoba menenangkan diri.

Namun, semuanya terjadi begitu cepat. Saat Yahya menginjak rem di salah satu tikungan tajam, pedalnya tak merespon. Jantungnya seolah berhenti berdetak. “Remnya nggak berfungsi!” teriaknya panik. Anak-anak di belakang mulai berteriak histeris saat bis melaju kencang tanpa kendali. Yahya mengerahkan segala kemampuannya untuk mencoba menghentikan bis, tapi usaha itu sia-sia. Dalam hitungan detik, bis terguling keluar jalan, menghantam tebing dan jatuh ke dalam jurang.


Di kantor Pak Tejo:

Pak Tejo sedang duduk nyaman di kursinya saat telepon dari pihak kepolisian masuk. “Bis Anda mengalami kecelakaan,” suara di ujung sana terdengar tegas, membuat senyumnya seketika lenyap. “Tidak ada korban yang selamat.”

Tubuh Pak Tejo terasa lemas. Ia jatuh terduduk di kursinya, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Bis yang ia paksakan untuk berangkat ternyata membawa maut bagi 30 anak-anak yang seharusnya menikmati hari mereka.

“Kami akan datang untuk menanyakan lebih lanjut,” kata polisi itu sebelum menutup telepon.

Pak Tejo panik. Otaknya berputar mencari jalan keluar. Jika ini sampai tersebar, bisnisnya akan hancur. Ia harus mencari kambing hitam, dan Yahya adalah orang yang paling tepat. “Aku bisa katakan kalau itu kesalahan Yahya. Yahya yang tidak memperbaiki bis itu. Yahya yang tidak profesional. Ya, aku bisa selamat jika aku menyalahkan dia,” pikir Pak Tejo.


Kesimpulan tragis:

Berita kecelakaan itu menyebar dengan cepat. Media mulai melaporkan bahwa sopir bis, Yahya, diduga mencuri uang yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki bis, dan karena itulah kecelakaan terjadi. Keluarga para korban yang marah mulai mencari Yahya dan keluarganya, menyerang mereka tanpa ampun. Sementara itu, Pak Tejo berhasil mengelak dari tanggung jawab. Dengan uang yang dimilikinya, ia membayar media untuk memutar balik fakta dan menempatkan semua kesalahan pada Yahya.

Namun, rasa bersalah mulai menggerogoti hati Pak Tejo. Dalam mimpi-mimpinya, ia melihat wajah anak-anak yang tewas dalam kecelakaan itu, dan mendengar tangisan para orang tua yang kehilangan anak-anak mereka. Hidupnya yang dulu nyaman dan penuh kemewahan kini terasa hampa. Hingga suatu hari, dalam keputusasaan, Pak Tejo memutuskan untuk menyerahkan diri ke polisi.

Ia menjual seluruh bis-bisnya untuk mengganti rugi para korban dan menyerahkan diri. Namun, tidak ada yang bisa mengembalikan nyawa anak-anak yang telah melayang akibat kelalaiannya.


Akhir:

Pak Tejo kini hidup dalam penyesalan, menjalani hukuman penjara selama beberapa tahun. Di balik jeruji besi, ia menghabiskan hari-harinya mengenang keputusan-keputusan buruk yang telah menghancurkan hidup banyak orang, termasuk hidupnya sendiri.

Have any Question or Comment?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *