Timor Leste: Dari Kemerdekaan hingga Krisis Ekonomi


 

Jose Dos Santos adalah saksi hidup perkembangan Timor Leste setelah negara tersebut merdeka dari Indonesia. Pada awalnya, Dos Santos bekerja sebagai mandor konstruksi di Dili, terlibat dalam pembangunan gedung-gedung yang menandai era baru bagi negara yang baru saja lepas dari cengkeraman Indonesia pada tahun 1999. Namun, sekarang ia harus berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bekerja sebagai sopir minibus di tengah-tengah perkembangan yang dialami negaranya.

Perjalanan Panjang Setelah Kemerdekaan

Timor Leste telah mengalami banyak perubahan sejak merdeka pada tahun 2002, setelah hasil jajak pendapat PBB pada tahun 1999 yang penuh dengan kekerasan. Namun, dampak ekonomi dari ratusan tahun penjajahan Portugal dan 24 tahun pendudukan Indonesia masih terasa hingga saat ini. Meskipun merdeka, pengangguran dan kemiskinan masih tinggi. Hampir sepertiga dari populasi Timor Leste, yang mencapai 1,3 juta orang, hidup dalam kemiskinan, dihadapkan pada masalah kelaparan, kekurangan gizi, dan kematian anak-anak yang bisa dicegah.

Menurut laporan dari LSM Lao Hamutuk, anak-anak di Timor Leste adalah yang paling kekurangan gizi di kawasan Asia Tenggara. Kondisi ini diperparah oleh rendahnya pendidikan, yang membuat generasi muda kesulitan untuk menjadi warga negara yang produktif di masa depan.

Ketergantungan Pada Minyak Bumi

Timor Leste sangat bergantung pada cadangan minyak dan gas lepas pantai sebagai sumber utama pendapatan negara. Namun, kondisi ini seringkali digambarkan sebagai “kutukan sumber daya,” di mana negara-negara yang kaya akan sumber daya alam justru kesulitan untuk menciptakan ekonomi yang berkelanjutan. Hal ini terjadi karena minimnya pengembangan sektor-sektor lain, harapan berlebihan pada pendapatan minyak, dan peningkatan utang negara.

Para pemimpin dan warga Timor Leste menyadari bahwa diversifikasi ekonomi sangat penting. Sektor-sektor seperti pariwisata, pertanian, dan perikanan memiliki potensi besar untuk berkembang, terutama karena keindahan alam dan kekayaan budaya negara tersebut. Namun, pengembangan sektor-sektor ini terhambat oleh minimnya infrastruktur, kurangnya tenaga ahli, dan birokrasi yang rumit.

Seorang warga Timor Leste bahkan mengatakan, “Kami memang sudah merdeka, tapi secara ekonomi masih belum merdeka. Kami tidak punya pabrik-pabrik, infrastruktur juga belum memadai, dan ekonomi kami sulit berkembang.”

Dana Perminyakan yang Terancam Habis

Sumber utama pendapatan Timor Leste adalah dana perminyakan, yang saat ini senilai 16 miliar dolar. Dana ini diperkirakan bisa habis pada awal dekade 2030-an, terutama karena penggunaan dana yang telah banyak terkuras sejak tahun 2007. Proyek Greater Sunrise, yang diharapkan menjadi solusi untuk mengisi kembali dana perminyakan tersebut, menghadapi berbagai hambatan, termasuk biaya yang tinggi dan tantangan teknis.

Meskipun Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Timor Leste akan mencapai rata-rata 4,1% pada tahun 2024 dan 2025, pertumbuhan ini lebih disebabkan oleh meredanya inflasi dan investasi pemerintah di sektor infrastruktur. Namun, banyak yang khawatir bahwa fokus pemerintah pada pembangunan infrastruktur tidak akan langsung menciptakan lapangan kerja yang signifikan. Sebagian besar proyek infrastruktur hanya menyediakan pekerjaan jangka pendek, sementara tenaga kerja lokal seringkali tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan proyek.

Selain itu, penggunaan kontraktor asing, terutama dari Tiongkok dan Indonesia, yang membawa tenaga kerja mereka sendiri, membatasi kesempatan kerja bagi warga lokal. Ini sejalan dengan keluhan Dos Santos, yang menyebutkan bahwa pekerja dari Tiongkok dan Indonesia telah mengambil alih pekerjaan di sektor konstruksi yang dulu menjadi sumber penghasilannya.

Ketimpangan Pembangunan

Ketimpangan pembangunan antara wilayah pedesaan dan perkotaan juga menjadi masalah besar di Timor Leste. Mantan pejuang gerilya dan aktivis Naldo Rei menilai bahwa fokus pembangunan terlalu terpusat di Dili, ibukota negara. Hal ini menyebabkan tingginya angka pengangguran di daerah pedesaan, karena banyak warga desa yang pindah ke kota untuk mencari pekerjaan. Setiap tahun, sekitar 8.000 hingga 10.000 lulusan baru memasuki pasar kerja, tetapi lapangan pekerjaan sangat terbatas.

Rei juga mengingatkan bahwa pertanian, yang seharusnya menjadi kunci pembangunan negara, justru terabaikan. “Bagaimana kita bisa membangun negara jika tidak ada investasi di sektor ini?” ujarnya.

Investasi Asing untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi

Untuk menggerakkan perekonomian, Timor Leste sangat bergantung pada investasi asing. Australia, misalnya, telah menggelontorkan dana sebesar 76,56 juta dolar dalam bentuk Official Development Assistance (ODA) untuk periode 2023-2024. Dana tersebut digunakan untuk membangun infrastruktur, serta mendukung sektor pendidikan dan kesehatan.

Pada September 2023, Perdana Menteri Timor Leste, Xanana Gusmão, mengunjungi Tiongkok dan menandatangani kesepakatan kemitraan strategis yang membuka jalan bagi investasi besar dari Tiongkok. Meskipun awalnya perjanjian tersebut mencakup kerja sama militer, Tiongkok akhirnya menarik kembali komitmen tersebut karena meningkatnya ketegangan geopolitik. Namun, Tiongkok tetap akan meningkatkan partisipasinya di Timor Leste melalui investasi dalam kerangka Belt and Road Initiative (BRI), termasuk penyediaan kapal patroli, pelatihan militer, serta pembangunan infrastruktur penting seperti markas besar angkatan pertahanan, barak, dan kantor Kementerian Luar Negeri.

Tiongkok juga telah mendanai sejumlah proyek besar di Timor Leste, seperti pembangunan jalan raya Suai, pelabuhan laut dalam Tibar, dan pengelolaan jaringan listrik di negara tersebut. Meskipun demikian, keterlibatan Tiongkok di Timor Leste mungkin akan terbatas karena ekonomi negara tersebut masih sangat bergantung pada intervensi pemerintah dan belum bebas sepenuhnya.

Tantangan di Masa Depan

Para ahli memperingatkan bahwa jika Timor Leste tidak segera mendiversifikasi ekonominya, negara ini akan menghadapi tantangan besar ketika pendapatan dari sektor minyak habis. Menurut beberapa proyeksi, dana perminyakan Timor Leste mungkin masih akan bertahan hingga tahun 2044 atau bahkan 2049 jika kebijakan pajak properti dan kebijakan serupa diterapkan. Namun, hal ini bergantung pada keputusan pemerintah untuk mengelola sumber daya alamnya dengan bijaksana dan mendorong pembangunan sektor-sektor lain yang berkelanjutan.

Kingsbury, seorang pengamat di East Asia Forum, menyatakan bahwa masalah utama yang akan dihadapi Timor Leste adalah apa yang akan terjadi ketika sumber pendapatan dari minyak bumi akhirnya habis. Jika pemerintah tidak mengambil langkah-langkah nyata untuk mempersiapkan ekonomi negara agar lebih mandiri, Timor Leste bisa menghadapi krisis ekonomi yang serius di masa depan.

Have any Question or Comment?

Leave a Reply