Warung bakso Pak Herman sudah lama berdiri di sudut jalan, namun akhir-akhir ini mulai sepi pembeli. Suatu hari, Pak Herman duduk termenung sambil mengutuki warung sebelah yang semakin ramai. “Ajian apa yang dipakai mereka sampai bisa mengalahkan bakso buatan kita?” gumamnya penuh amarah. Bu Ima, istrinya, hanya bisa menghela napas. “Mungkin rasa baksonya memang lebih enak, Pak. Mau sekuat apapun penglaris kita, kalau rasanya kalah, ya tetap nggak bisa bersaing.”
Pak Herman tak percaya. “Nggak mungkin! Bakso kita ini yang paling enak! Ini pasti karena penglaris yang lebih hebat dari kita.” Bu Ima mengusulkan, “Bagaimana kalau saya coba beli bakso di sana, Pak? Kita lihat apa benar rasanya lebih enak dari bakso kita.”
Dengan berat hati, Pak Herman menyetujui. “Beli dua bungkus dan buktikan kalau rasanya nggak lebih enak dari bakso buatan kita.”
Bu Ima pun pergi ke warung sebelah. “Permisi, Pak Indra, saya mau beli dua bungkus bakso,” ujarnya kepada pemilik warung bakso sebelah. Pak Indra tersenyum lebar, merasa menang. “Oh, mau coba bakso saya ya, Bu? Tentu, saya yakin setelah makan bakso saya, Ibu akan sadar kenapa warung saya lebih ramai.” Bu Ima hanya tersenyum kecil, mengambil pesanannya, lalu kembali ke warung.
Setelah mencicipi bakso dari warung sebelah, Pak Herman marah besar. “Rasanya biasa aja! Nggak ada yang istimewa dari bakso mereka, pasti ini penglaris yang lebih kuat dari punya kita!” ujar Pak Herman dengan nada penuh emosi. Bu Ima yang juga telah mencoba baksonya mengangguk setuju. “Iya, Pak, memang rasanya nggak jauh beda. Mungkin ini memang karena penglarisnya.”
Tak lama kemudian, seorang pelanggan dari luar kota datang bertanya tentang warung bakso yang sedang viral, yang ternyata adalah warung sebelah. Pak Herman makin kesal. “Cih, pelanggan sebelah rupanya. Sana pergi! Saya malas melihat muka kalian.”
Bu Ima mencoba menenangkan, tetapi pelanggan itu sudah terlanjur pergi, meninggalkan warung dengan wajah kesal. Bu Ima pun kembali berpikir keras. “Bagaimana ini, Pak? Kita harus menemukan cara untuk mengalahkan mereka.”
Pak Herman pun membawa masalah ini ke Mbah Bejo, seorang dukun yang sering mereka datangi. Mbah Bejo setelah menerawang dengan mata batinnya berkata, “Penglaris kalian tidak kalah dari penglaris sebelah. Semua ini hanya masalah strategi marketing dan kemurahan harga. Kalian bisa menggunakan pesugihan uang bibit.”
Pesugihan uang bibit? Pak Herman mendengar istilah itu dengan takjub. Mbah Bejo menjelaskan bahwa uang bibit adalah uang gaib yang tak pernah habis. Setelah digunakan untuk transaksi, uang itu akan kembali dalam waktu satu hingga dua jam, membuat penggunanya bisa terus-menerus bertransaksi tanpa takut kehabisan uang.
Pak Herman dan Bu Ima akhirnya memutuskan untuk mengikuti saran Mbah Bejo. Mereka diberikan sejumlah uang bibit untuk membeli bahan baku bakso. Pak Herman dengan senyum lebar pergi membeli daging sapi segar, dan seperti yang dijanjikan oleh Mbah Bejo, uang yang dipakai untuk membeli daging kembali lagi ke tangannya.
“Bu, uangnya balik lagi! Uang kita nggak habis!” seru Pak Herman dengan penuh kemenangan. Dengan keyakinan penuh, mereka mulai menjual bakso mereka dengan harga sangat murah, bahkan lebih murah dari warung sebelah.
“Bakso murah! Cuma Rp4.000 per porsi! Dijamin enak dan bikin kenyang!” seru Pak Herman dan Bu Ima di depan warung mereka. Orang-orang yang lewat tak percaya, tapi karena penasaran, mereka mulai berdatangan untuk mencicipi bakso murah itu.
Tak butuh waktu lama, warung bakso Pak Herman yang tadinya sepi berubah ramai dipenuhi pelanggan. Orang-orang antri untuk mencoba bakso murah yang dijualnya. “Pak Herman, nambah lagi dong! Rasanya bikin ketagihan, untung harganya murah!” seru seorang pelanggan. Pak Herman hanya bisa tertawa senang. Kini warungnya ramai pengunjung, dan mereka yakin akan segera menjadi kaya raya.
Di sebuah kawasan yang ramai, Pak Herman membuka warung bakso yang terkenal murah dan lezat. Setiap harinya, pelanggan berdatangan, termasuk Pak Untung yang merasa ketagihan dengan bakso tersebut. Suasana di warung bakso selalu penuh tawa, bercanda mengenai harga yang murah dan rasa yang lezat. Namun, tanpa mereka sadari, di balik keceriaan itu, ada sesuatu yang mulai mengusik pikiran Pak Herman.
Di suatu hari yang cerah, Pak Herman mulai merasa resah. Walaupun dagangannya laris manis, ia merasa ada yang janggal. Setiap kali ia menghitung pendapatan di akhir hari, jumlah uang yang ia dapatkan selalu terasa kurang. Daging yang ia jual habis, tetapi uang yang diterimanya tidak sesuai dengan modal yang ia keluarkan. Bahkan setelah berkali-kali menghitung, uang yang ada di tangannya seolah tak pernah cukup.
Pak Herman mulai curiga. “Apa mungkin ada tuyul yang mencuri uang saya?” gumamnya dalam hati. Namun, Pak Untung, sahabatnya yang sering datang ke warung, menepis pemikiran itu. “Kalau memang tuyul, pedagang lain pasti juga ribut karena kehilangan uang. Tapi, buktinya saya nggak kenapa-kenapa,” kata Pak Untung dengan santai.
Malam itu, Pak Herman mencoba memikirkan kemungkinan lain. Saat ia duduk merenung di warungnya yang mulai sepi, datanglah seorang pelanggan wanita yang sering membeli daging dalam jumlah besar. Wanita itu selalu membeli 5 kilo daging setiap hari, dan setiap kali membayar dengan uang pecahan Rp100.000. Awalnya, Pak Herman tak menganggapnya aneh. Namun, pada malam itu, ia merasa ada yang tidak biasa. “Kenapa uang yang dia berikan selalu pecahan seratus ribu, ya? Tak pernah ada uang pecahan lainnya,” pikir Pak Herman.
Ia mencoba mencium uang yang diberikan wanita itu. Tiba-tiba, ia mencium aroma melati yang kuat dari uang tersebut. Perasaan tidak nyaman mulai merayap di hati Pak Herman. “Apakah ini uang bibit? Pesugihan?” gumamnya sambil terus memandangi uang di tangannya.
Rasa penasaran yang menggelitik pikirannya membuat Pak Herman tak bisa tidur malam itu. Ia terus memegang uang tersebut dengan erat, berharap mendapatkan petunjuk. Namun, saat pagi tiba, uang itu tiba-tiba menghilang dari genggamannya. “Astaga! Uangnya benar-benar hilang!” teriak Pak Herman. Segala firasat buruk yang ia rasakan sebelumnya seakan menjadi kenyataan.
Pak Herman mulai mengingat-ingat cerita dari seorang teman lamanya tentang uang bibit—uang gaib yang digunakan dalam pesugihan. Uang itu, katanya, akan kembali ke pemiliknya dan meninggalkan orang yang menerimanya dalam kerugian. Aroma melati yang tercium dari uang itu adalah salah satu ciri khas uang bibit. “Jika benar ini uang bibit, maka semuanya masuk akal,” pikir Pak Herman dengan gelisah.
Di hari berikutnya, ketika wanita yang sama datang lagi untuk membeli daging, Pak Herman semakin curiga. Kali ini ia menolak secara halus untuk menerima uang dari wanita tersebut. “Maaf, Bu. Uang kecilnya ada? Soalnya saya nggak ada kembalian,” katanya sambil tersenyum kaku. Wanita itu tampak sedikit panik. Namun, setelah beberapa saat, ia akhirnya pergi dengan wajah kecewa.
Setelah wanita itu pergi, Pak Herman merasa sedikit lega, namun kegelisahan masih menghantuinya. Saat malam menjelang, bayangan bahwa ia mungkin menjadi korban pesugihan semakin kuat. Di kepalanya, terbayang bagaimana orang-orang yang menggunakan uang bibit harus mematuhi pantangan ketat agar uang itu tetap bekerja untuk mereka. Salah satu pantangan terbesar adalah jangan biarkan siapapun tahu bahwa uang tersebut adalah uang gaib.
Namun, ketakutan Pak Herman semakin menjadi ketika ia mendengar bahwa wanita yang sama tiba-tiba menghilang keesokan harinya. Penduduk sekitar mulai bergosip bahwa wanita itu terlibat dalam praktek pesugihan, dan bahwa siapa pun yang melanggar aturan dalam pesugihan tersebut akan mendapatkan hukuman mengerikan—mereka akan mati atau hilang dari dunia ini tanpa jejak.
Tak lama setelah itu, Pak Herman mulai merasa tubuhnya lemas. Kakinya terasa berat dan sulit digerakkan. “Tidak… apakah ini akibat dari uang bibit itu? Apakah saya sudah terlalu dalam terlibat dengan wanita itu?” pikirnya dengan panik. Rasa takut semakin menghantuinya, terlebih setelah mendengar kisah-kisah lain tentang orang-orang yang mati setelah melanggar pantangan pesugihan.
Sementara itu, wanita yang memberikan uang tersebut juga merasakan hal yang sama. Ia dan suaminya berlari ketakutan, menyadari bahwa mereka telah gagal menjaga uang bibit tersebut dari ketahuan orang lain. Mereka berdua mencoba melarikan diri dari nasib buruk yang sudah menanti, namun usaha mereka sia-sia. Tak lama kemudian, tubuh mereka mulai menghilang satu per satu—dimulai dari kaki, hingga akhirnya mereka lenyap tanpa jejak.
Pak Herman, yang menyadari bahwa ia mungkin akan mengalami nasib serupa, mencoba untuk mencari jalan keluar. Namun, semuanya terasa sia-sia. Tubuhnya semakin melemah, dan rasa takut bahwa ia juga akan menghilang semakin menguat. Sampai akhirnya, ia hanya bisa pasrah. “Aku tidak mau mati… aku tidak mau mati…” lirihnya dalam ketakutan.
kanalesia.com | Bringing the knowledge you need