Berebut Warisan – Ortu ditelantarkan, pas mati cepet2 datang


Pagi itu Lea sedang sibuk membantu ibunya menyiapkan bekal makanan untuk kakaknya, Bayu, yang akan berangkat merantau ke luar negeri. Dapur beraroma harum masakan khas Indonesia, dan tumpukan kotak makanan sudah menunggu untuk dikemas. Lea berusaha meyakinkan ibunya untuk tidak terlalu repot, mengingat kesehatan ibu yang sudah tidak prima lagi.

“Ibu gak capek kok, nak. Masmu itu picky soal makanan, kasihan nanti kalau gak cocok sama makanan di luar negeri,” jawab ibunya sambil tersenyum lelah.

Lea hanya bisa menghela napas. Ia tahu betapa ibunya sangat menyayangi Bayu, bahkan terkadang sampai lupa memperhatikan kesehatannya sendiri. Sementara Bayu, yang baru saja selesai mengemasi koper, masuk ke dapur dan mencium aroma rendang yang baru matang.

“Wah, Ibu masak rendang buat aku? Makasih banyak, Bu! Nanti di sana pasti aku kangen makanan Ibu,” kata Bayu dengan nada bersyukur. Namun, seketika raut wajahnya berubah.

“Eh, makanan buat istriku mana? Mbak Rika lagi ngidam masakan Ibu juga, lho.”

Ibu tertegun sejenak, menyadari bahwa ia lupa menyiapkan masakan untuk menantunya. “Aduh, maaf ya nak, Ibu lupa. Nanti Ibu masakin lagi, biar Lea yang nganterin ke rumahmu,” ucapnya sambil tersenyum canggung.

Lea yang mendengar itu merasa kesal. Ia mengerti tanggung jawabnya sebagai adik, tetapi terkadang permintaan kakaknya membuatnya merasa terbebani. Apalagi, kesehatan ibu semakin hari semakin menurun. Lea ingin sekali menolak, tapi melihat ibunya yang sudah lelah, ia hanya bisa mengangguk.

Setelah Bayu berangkat, hari-hari Lea kembali ke rutinitas seperti biasa, merawat orang tuanya yang sudah menua dan mengurus pekerjaan di rumah. Namun, tak lama setelah itu, sebuah tragedi mengguncang hidupnya. Suatu sore, ketika ia sedang sibuk membereskan rumah, sebuah telepon dari rumah sakit mengejutkannya.

“Lea, cepat datang ke rumah sakit! Bapak sama Ibu kecelakaan di jalan!”

Panik dan gemetar, Lea langsung bergegas menuju rumah sakit. Setibanya di sana, ia diberitahu bahwa ibunya sudah tiada, sementara bapaknya dalam kondisi kritis. Hatinya hancur. Dunia Lea seakan runtuh. Bayu dan kakak perempuannya, Bila, datang terlambat dan tampak tidak terlalu peduli.

Di rumah sakit, suasana dingin. Lea duduk di samping tempat tidur bapaknya, yang terlihat lemah dan penuh luka. “Nak… jaga bapak ya. Jangan tinggalkan bapak sendirian,” ucap bapaknya pelan dengan suara serak.

Lea mengangguk, air mata mengalir deras di pipinya. Namun, kesedihannya tidak berhenti di situ. Kakaknya, Bayu dan Bila, malah sibuk memikirkan warisan. Mereka mulai bertengkar di depan bapaknya yang masih terbaring sakit, berebut harta tanpa rasa hormat.

“Pak, kalau bapak sudah sembuh, warisannya dibagi ya,” ucap Bila tanpa malu. Bayu hanya diam dan mengangguk setuju.

Lea yang mendengar itu merasa muak. “Kalian kok bisa-bisanya ngomong gitu? Bapak belum sembuh! Seharusnya kalian bantu bapak, bukan malah mikirin warisan!” teriak Lea, matanya berkilat marah.

Tapi Bayu dan Bila tak peduli. Mereka pergi meninggalkan rumah sakit, meninggalkan Lea sendirian merawat bapak mereka yang sekarat. Sepanjang malam itu, Lea duduk termenung, memikirkan betapa egoisnya saudara-saudaranya.

Keesokan harinya, dokter datang dengan kabar buruk. Kondisi bapaknya semakin memburuk dan membutuhkan perawatan intensif. Lea bingung bagaimana ia akan membayar biaya rumah sakit yang semakin membengkak. Ia mencoba meminta bantuan kepada kakak-kakaknya, tapi seperti biasa, mereka menolak.

“Aku gak punya uang, Lea. Aku lagi mau liburan ke Thailand, jadi uangku habis,” ucap Bila tanpa rasa bersalah.

Lea hampir kehilangan harapan. Namun, ia tidak ingin menyerah. Ia bertekad untuk mencari jalan keluar, demi bapaknya. Bagaimanapun, ia tahu, selama ini hanya dia yang benar-benar peduli.

Suatu hari, ketika Lea sedang mengurus administrasi di rumah sakit, seorang pria tua datang menghampirinya. “Lea, aku teman baik bapakmu, namaku Pak Heri. Bapakmu pernah menyuruhku untuk memberikan sesuatu padamu kalau terjadi sesuatu padanya.”

Pak Heri menyerahkan sebuah amplop tebal berisi surat dan uang yang cukup untuk membayar semua biaya rumah sakit. “Bapakmu sangat bangga padamu, Lea. Dia tahu kamu yang paling bisa diandalkan.”

Lea tak mampu menahan air matanya. Dengan bantuan Pak Heri, ia berhasil menyelamatkan bapaknya dari maut, meski ibunya sudah tak ada. Dan meskipun saudara-saudaranya tak peduli, Lea berjanji dalam hatinya akan terus merawat bapaknya hingga akhir.

Kehilangan ibunya adalah luka yang takkan pernah sembuh, namun Lea tahu bahwa hidupnya harus terus berjalan. Di tengah segala kesulitan, ia menemukan kekuatan yang tak pernah ia sangka sebelumnya.

Have any Question or Comment?

Leave a Reply